Balada Angin Gunung
Kembang Kopi
303 Halaman, Bahasa Indonesia
Kembang kopi kau sangat indah, kembangmu mekar dipagi hari, berimbun-rimbun dalam gerombolan dahan lemah, dinyanyikan dikala senja, dinanti sepanjang malam. Kembangmu kecil memberi arti, janganlah sampai hilang dari arus zaman, karena resah dan gelisah akan terhapus, dari kejauhan kalian seperti anak kecil berambut ikal yang tertawa terpingkal-pingkal, kembang kopi teruslah menyemarakkan lereng-lereng.
Gunung adalah wahana pertanian pemberian alam yang sangat fantastik, Sindoro Sumbing dan bahkan kota Temanggung harus menjadi bumi pertanian abadi. Pohon-pohon lelaki yang tumbuh subur, kembang kopi yang tak pernah lupa mekar, pucuk-pucuk pohon teh bagaikan manusia katai yang jalan hilir-mudik membentuk ladang nan permai, kembang kol, kubis dan si pedas juga ikut serta. Bulu-bulu jagung yang menggelikan.
Bukan hotel yang diperlukan tetapi pompa, irigasi gunung, kemandirian pupuk yang akan melanggengkan kembang kopi tetap berseri dipagi hari. Juga bukan arus modernisasi yang akan mematahkan dahan kembang kopi lebih banyak lagi.
Seni hidup dari keaslian gunung harus menjadi wacana berpikir dan bergerak bagi siapapun yang mengatakan mencintai pemberian semesta.
Bangilun
387 Halaman, Bahasa Indonesia
Kalau seni dan budaya butuh panggung untuk mengadakan pertunjukan kita semua setuju namun betulkah seni dan budaya butuh penonton? Pertanyaan ini akan bergulir oleh siapapun yang menyaksikan Seni Tari Sri Lestari Bangilun menari dari pukul 9 pagi hingga pukul 12 malam. Mereka menari menembus dingin gunung yang menusuk.
Penonton yang hadir menjelang senja karena ingin bertemu bidadari turun dari kayangan boleh dikata bukan penonton. Mereka adalah para tetangga yang telah ikut bersama Kelompok Sri Lestari Bangilun merayakan kehidupan. Kelompok Sri Lestari Bangilun sudah menari sampai generasi ketiga, 100 tahun lebih mereka menari, walau ada sekali-kali kilatan lampu sorot panggung provinsi menyemangati, dari rumah ke rumah, balai desa dan pangung sederhanalah mereka bertahan.
Riibuan kali membongkar pasang panggung bambu yang apa adanya tanpa lelah hanyalah kisah perjuangan dari seni pertunjukkan.
Adalah seorang lelaki kurus, berwajah kempot, ia bermana Pak Sabarno. Semangatnya menari bisa dikalkulasi dari skema giginya, kini giginya sudah banyak yang tanggal. Dari masih sangat belia ia sudah menari. Lima puluh tahun belum cukup bagi Pak Sabarno melestarikan budaya leluhurnya, mengabdi kepada nenek moyangnya, mungkin sampai tubuhnya lunglai ia akan terus menari karena masih ada rohnya yang menyala-nyala.
Paling terpenting katanya ia menari dengan gembira, mempersembahkan jiwa kepada Gusti Allah pemilik semesta.
Begitulah harusnya budaya dirayakan. Tanpa budaya manusia akan kehilangan esensi.
Manusia Lereng
375 Halaman, Bahasa Indonesia
Urat-urat besar seakan mencuat ke atas permukaan kulit tangannya yang sedang meraih cangkul, kaki lebarnya sejak subuh sudah membawa tubuhnya terus bergerak. Jejak kakinya yang berbentuk dayung adalah replika pengembaraan dunia menapaki kehidupan, direpresentasikan oleh Manusia Lereng seperti milik Pak Kirno yang sedang berjalan ke ladangnya. Kegunungannya yang asli hari ini memilih tidak numpak pit, ia mendaki menuju ke ketinggian 1800 meter. Istrinya, Sutarsih dan anaknya Jumadi mendahuluinya dengan motor butut sambil melambai. Lambaian tangan istrinya semakin menjauh semakin memedihkan hatinya terhadap arus modernisasi yang sudah sampai ke atas lereng: Manusia lereng yang terus bertahan dengan cara lambat pada abad super cepat.
Manusia Lereng Sindoro Sumbing dan manusia-manusia yang hidup pada kemiringan lahan adalah peraih Nobel Kehidupan yang sesungguhnya. Mereka adalah perawat habitat kehidupan penuh makna, budaya, seni, tutur bahasa dan laku hidup berikut elemen-elemen di dalamnya Pak Kirno jaga tanpa dunia tahu.
Manusia Lereng tanpa tanpa gunung bagaikan manusia tanpa dunia. Peradaban akan terhapus.
Manusia Lereng mengingatkan manusia Indonesia untuk kembali ke jati dirinya yang adiluhung, melakukan kontemplasi dengan para nenek moyang yang telah membangun bangsa ini dengan cita-cita kearifan lokal yang berperikehidupan sederhana dan berwelas asih kepada alam dan semesta.
Comments