Bis Bohong
Jadi ceritanya waktu pengalaman pertama di Jombor itu, kami bertanya bis mana jurusan Temanggung kepada orang-orang di terminal, terus mereka begitu saja menggiring kami ke bisnya..heee. Tentu aku pastikan kembali benar ga nih lewat Temanggung selalu dijawab “IYOO”. Setelah di dalam bis aku masih ingatkan kami turun di terminal Temanggung juga dijawab “SIYAP” oleh si Kenek. Ternyata saudara-saudara kami diboongi, bis hanya sampai Magelang. Kami harus menyambung bus lain lagi ke Temanggung.
Orang biasanya kalau sudah bohong akan menutupi dengan kebohongan baru. Si Kenek menunjuk satu bis ke Temanggung dan meyakinkan kami tidak usah bayar lagi karena ia sudah beri kelebihan tarif yang kami bayar kepada bus Temanggung . Ternyata saudara-saudara kami diboongi lagi.
Untuk kepulangan kali ini, aku sudah bertekad tidak mau dibohongi lagi. Kami harus ambil bis jurusan Wonosobo agar lewat Temanggung seingatku dulu ada. Ketika melihat dua petugas terminal di depan kami bergegas menemuinya dan sambil menuju ke tempat mereka duduk aku mengeluarkan wejangan lagi kepada anakku begini loh Nak kalau kita ke terminal lebih baik tanya ke petugas langsung biar ga diboongi! Anakku manggut-manggut tanda setuju.
Apa yang terjadi ternyata saudara-saudara petugas juga menganjurkan kami memakai bis bohong itu lagi. Nasib-nasib!
Kita mungkin pernah menghadapi hal ini dan tetap menerima kebohongan dengan hati terbuka entah karena tidak ada pilihan atau karena memang kondisi kita terbatas. Mempunyai pengalaman dibohongi rasanya tidak enak sampai bisa naik pitam. Untuk hal besar ada yang sampai bisa menghilangkan nyawa orang. Siapa yang belum pernah dibohongi rasanya tidak ada. Tanpa melihat besar kecil, dampak, bentuk atau tujuan maka kebohongan adalah kebohongan benar tidak tetapi ketika kebohongan yang sudah terungkap apakah masih yakin itu sebuah kebohongan? Kita akan berpikir panjang setelah itu tentang faktor mengapa mereka melakukannya dan tentang sistem yang memungkinkan praktik kebohongan itu bisa terjadi.
Dalam skala terbatas, kita bisa menghindar itu pun kalau masih ada kesempatan yang sama untuk jenis kebohongan yang sama seperti usaha kami mencari informasi tetapi kadang ada kondisi kebohongan terpaksa harus dibiarkan karena belas kasih, karena skalanya kecil, karena tidak ada pilihan, tidak berdaya dan ada kepentingan tersembunyi.
Kita bisa menghentikan orang berbuat bohong kalau ada fokus dan otoritas. Kalau begitu mengapa instansi yang punya otoritas dan dibayar untuk itu kok masih betah dengan kondisi tersebut?
Hal yang menarik yang ingin aku ungkap rupanya reaksi orang terhadap suatu peristiwa bohong tergantung kadar kebohongan yang pernah ia lakukan semasa hidupnya.
Kalau seorang penjelajah akan melihat kebohongan di terminal adalah bagian dari petualangan. Kalau seorang kenek yang pernah melakukan hal yang sama akan mudah mewajarkan kebohongan dan khusus untuk koruptor dan pecundang masih bisa melihat ada keuntungan dan manfaat dibalik suatu kebohongan karena keselamatan dan kepentingan mereka ditopang oleh kebohongan.
Nah orang jujur, baik hati akan menghadapi peristiwa bohong kalau uang yang hilang akan dijadikan sedekah, kalau kesempatan yang hilang akan dijadikan pelajaran. Setiap kejadian bohong diluar kendalinya akan direlakan pergi untuk memperkaya jiwa.
Setelah itu tiba-tiba seorang kenek sudah mendekat menawarkan bahasa iklan yang sama, bicaranya lantang Wonosobo Wonosobo! Ia langsung kusemprot, “Mau bohong lagi, mengapa gak bilang Jakarta wae? Sampai Magelang kok bilangnya Wonosobo!” Si Kenek cengengesan.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Comments