Blogs

MENGEJAR KUANTITAS JUSTRU AKAN MENURUNKAN KUANTITAS KEMBALI KARENA KUALITAS TERABAIKAN {CHASING THE QUANTITIES WILL REDUCE QUANTITY BACK BECAUSE THE QUALITY WAS PUT ASIDE}

Post Soph

Kecanggihan Iman

FacebookTwitterLinkedInShare
 

Aku jadi teringat zaman bimbel di Kota-Kembang, saat itu kudengar banyak gadis-gadis nonMuslim sengaja dihamili. Pacarnya meminta gadis itu masuk Islam karena ia mau tanggung jawab sebaliknya akan lepas tangan. Gadis-gadis polos yang masih memegang teguh budaya ketimuran bahwa “perawan milik suami” malu akhirnya terpaksa masuk Islam. Beberapa kasus si perempuan tetap menjadi Islam sampai meninggal dan beberapa kasus kembali ke agama lamanya dengan pengorbanan yang tidak sedikit.

Hal seperti ini beredar dari mulut ke mulut dan hampir tidak pernah di[ter]ekspos oleh media mainstream. Awalnya berita dari korban lalu menjalar ke kalangan terbatas korban dan akhirnya kemana-mana. Menimbulkan keresahan yang belum berhenti di kalangan nonMuslim hingga hari ini salah satunya kakakku. Saat keponakanku anak perempuan kakakku itu mau melanjutkan kuliah di Bandung ia tidak diizinkan dengan alasan tersebut.

Kabar yang lebih mengkhawatirkan saat itu, program “pacari hamili islamkan” sengaja diajar-ajarkan oleh pemimpinnya. Bahkan itu menjadi semacam program terkendali. Aku banyak menduga di belakangnya ada HTI dan FPI serta beberapa kelompok Islam corak arab dan khilafah. Kalau dihitung dari zamanku sampai ke keponakan isu ini sudah berlangsung sekitar 25 tahun. Kira-kira dalam 25 tahun mereka sudah mencapai target berapa ya?

Cara berpikir perempuan tradisional dijebak atas nama cinta. Lelakinya ada yang benar-benar memang cinta namun tidak sedikit yang hanya sekedar dihamili, dinikahi, diislamkan lalu diceraikan lagi.

Perempuan mualaf yang telah diceraikan atau tidak terikat secara sosial terhadap keluarga besar dan lingkungan barunya. Secara moral terikat terhadap pilihannya (dirinya) dan anak. Kondisi sudah terbuang ‘keluar’ dari keluarga dan komunitas lamanya membuatnya sendirian menghadapi semua hal. Tidak punya daya untuk kembali walau keinginan itu ada misal dipicu oleh berbagai masalah perkawinan. Misal ada ancaman anak akan diambil paksa bila ia kembali ke agama lamanya atau tunjangan anak akan dihentikan. Mantan suaminya masih mempunyai kendali atas agamanya. Mereka memakai agama untuk memperdaya dan mengancam.

Baru-baru ini menemukan kasus seorang perempuan menikah secara Islam dan ingin kembali ke agama lamanya setelah beberapa waktu berjalan namun diancam penistaan agama oleh pemimpin mesjid, dasarnya dari surat pernyataan masuk Islam yang ia tanda tangani. Secara tegas kami katakan kepada korban bahwa menurut UU hal itu bukan penistaan agama.

Sebagai sesama imigran di muka bumi ini, kita perlu banyak-banyak merenung tentang semua ini dan tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Katakanlah tujuan mereka tercapai dimana suatu hari di dunia ini hanya dihuni satu agama lalu dimana letak fungsi penyebarannya? Apakah saat itu agama tidak perlu disebarkan lagi karena kuantitas sudah terpenuhi? Okelah kalau penyebarannya akan diarahkan untuk pemantapan iman, kalau begitu aku tanya mengapa tidak dimantapkan saja yang ada sekarang mengapa memberi terlalu banyak fokus kepada umat yang belum terbentuk?

Selama pendekatan agama terobesesi angka-angka maka kualitas menjadi korban. Aku sungguh tidak mengerti mengapa ada kelompok yang begitu kalap dengan angka statistik jumlah umat. Dalam bisnis coba produksi tempe saja secara serampangan dan tidak menjaga kualitas kira-kira bisa tidak mempertahankan angka penjualan? Ada tidak pelanggan baru yang mau mendekat kalau ia sudah tahu tempemu bau ‘anyep’? Mutu tempemu yang rendah jadi gunjingan dari mulut ke mulut tanpa kau sadari. Kalau pedagang saja mengejar kualitas bagaimana mungkin agama tidak melakukannya?

Mengejar kualitas otomatis akan menghasilkan kuantitas tetapi mengejar kuantitas justru akan menurunkan kuantitas kembali karena kualitas diletakkan di samping! Kalau agama diciptakan untuk jangka panjang maka seharusnya kualitas yang dikejar bukan? Masalah menambah dan mempertahankan jumlah pemeluk bukan soal hitung dagang loh. Idealnya usaha-usaha manusia menyebarkan ajaran agamanya seharusnya menyertakan penyelenggaraan Ilahi, kasarnya peduli amat dengan statistik. Statistik tidak perlu ditanggapi kalap. Kehidupan setelah ini statistikmu adalah sampah kekekalan! Percuma manusia memakai segala cara karena kalau Tuhan mau batu saja bisa ia ubah untuk menambah jumlah umatnya kok!

Maksudku mengungkapkan kasus ini, pertama aku ingin meneguhkan kepada korban bahwa yang paling berhak menentukan masa depan, keyakinan dan agama yang ingin diikuti adalah diri sendiri. Tidak beragama sekalipun tidak ada yang bisa melarang. Keyakinan dan agama yang dipilih harus sesuai dengan hati nurani, bebas tekanan dan paksaan agar agama dan keyakinan yang dipilih bisa membangun kemanusiaanmu semakin sempurna bukan sebaliknya walau kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Kalau kemanusiaanmu berkembang otomatis agamamu juga berkembang maka agama menjadi selaras dengan tujuan Tuhan dalam penciptaan.

Fokusku agar kau mendapatkan kebebasan yang menjadi hakmu. Apapun agamamu adalah urusanmu agar kau utuh sebagai ciptaan. Terkait apakah suatu agama atau kepercayaan itu sesat atau mengklaim paling benar hal ini tidak menjadi perhatianku.

Kepada pihak-pihak yang kecangihan iman segera HENTIKAN memakai cara-cara ‘purba’ karena kalian menyangkal Tuhan sendiri serta merugikan agama kalian sendiri. Kalian terlalu over acting menunjukkan sebagai orang bermasalah!

Bagi yang mengalami kasus-kasus terkait kekerasan atas nama agama, intoleransi dan sara silakan IM ke FB-ku DI SINI.

 

PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN

Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.