Blogs

PERBEDAAN YANG SENGAJA DIBANGUN DALAM AGAMA ADALAH POLITIK ANAK-ANAK (THE DIFFERENCES THAT DELIBERATELY WAS BUILT WITHIN RELIGION IS CHILDHOOD POLITIC)

Post Ts

Tukang Sabda

FacebookTwitterLinkedInShare
 

Saat makan di sebuah warung padang, seorang kawan menyarankan minimal harus posting empat artikel per minggu agar peringkat situs tidak turun. Kataku kemudian aku tidak bisa menulis kalau tidak tersentuh, aku bukan ‘tukang sabda’ namun dia tetap melanjutkan argumentasinya.

Kalimat di atas adalah pembuka bagi artikel ini. Topik “Tukang Sabda” di atas hadir karena tersentuh dengan ceramah Ramadhan oleh Saudara Komarudin Hidayat di sebuah stasiun televisi dengan tema Sabda, Bahasa dan Budaya beberapa hari lalu. Saudara Komarudin menghubungkan literatur “sabda” yang dilakukan para nabi, raja, yaitu orang-orang yang mempunyai posisi tinggi.

Pada Ramadhan tahun lalu, menjelang 1 Syawal, karena tersentuh lagi, saat mendengar suara takbir yang syahdu di sekitar perumahan aku langsung ingat kawanku Atta Waseer di Pakistan dan memberi ucapan Selamat Hari Raya di dinding medsos. Aku juga mengisahkan pengalaman menghadiri Israj Miraj dengan memakai kerudung waktu SD dan mempunyai sahabat karib yang juga memakai kerudung.

Mungkin karena aku katakan bel rumah di Temanggung mengeluarkan salam “Assallammualaikum” maka seketika itu juga seorang kawan mendoakan ‘naik pangkat’ katanya semoga meningkat ke Hajjah.

Isu pindah agama selalu menjadi ajang pertempuran sengit di media online. Biasanya antara Muslim dan Kristen. Ada netizen yang memberi komentar pedas lalu dibalas yang lebih pedas lagi oleh netizen lain namun tidak sedikit yang bersikap netral. Terlepas mereka ‘panasbung’ atau ‘robot’ yang dibentuk oleh media maupun oleh agama tertentu, media telah berhasil menciptakan ‘perang saudara’ demi meraup iklan. Media sangat mengerti isu sensitif yang menaikkan trafik.

Ratusan abad isu agama selalu menjadi sumber konflik yang tidak pernah selesai. Pencetus, pembakar dan tim gembira isu telah menjadi debu tetapi warisan mereka terus membanjiri bumi dengan darah yang tidak pernah kering hingga detik ini.

Aku kira ada yang tidak benar yang terus berlangsung selama ini dan beberapa media mencoba mengambil kesempatan dengan alasan iklan: tentang ketertarikan orang-orang atau pihak-pihak untuk menjadi tukang sabda. Kalau media bukan corong agama maka mereka adalah karung penampung ‘dhuwit’. Bagi media yang doyan menayangkan berita jenis itu tanpa disadari sebenarnya mereka sedang menanam bom waktu dalam server mereka, lambat-laun pasti akan ditinggalkan!

Netizen semakin hari semakin cerdas, aku yakin trafik terus menurun oleh waktu. Berita-berita seperti itu menurutku sudahlah, tidak keren dan sangat tidak relevan dalam dunia yang begitu terbuka apalagi dunia terus berduka karena konflik agama. Apa media tidak mempertimbangkannya?

Merujuk sumber sabda adalah Tuhan dan dalam kamus KBBI kata sabda mengandung titah atau perintah, maka seharusnya sabda itu berisi kebenaran dan kepantasan bagi orang yang membawanya.

Di dalam dunia ini, semua agama secara diam-diam maupun terbuka mengambil porsi dalam penyebaran agamanya baik terorganisir menurut peran dan fungsi dalam masing-masing agama atau secara sukarela, perorangan dan kelompok kecil. Media dinilai sangat ampuh menjadi corong agama dan para netizen yang merasa pantas menjadi “Tukang Sabda” ikut memanfaatkan media dalam penyebaran agamanya, secara eksplisit dan implisit.

Pasalnya politik turut dicampuradukkan dalam agama dan selama politik ikut bermain dalam agama maka menurutku manusia akan semakin jauh dari Tuhannya, terlepas ada politikus yang masih nalar. Kalau politik dimasukkan ke dalam agama maka penyebaran satu agama menjadi ancaman bagi agama lain. Praktik dogmanisasi oleh suatu agama akan menjadikan agama tersebut sebagai tumpukan pemeluk semu.

Agama membutuhkan pemeluk yang hatinya tersentuh agar ajaran agama berkembang dan bisa membangun peradaban manusia yang bernilai di mata semesta.

Tidak mungkin meniadakan penyebaran agama. Di dalam kitab suci masing-masing agama secara tersurat atau tersirat yaitu semacam ‘tugas’ bagi pemeluknya.

Cara penyebaran agama yang mempunyai daya sentuh tinggi adalah setiap pemeluk mengaplikasikan ajaran agama masing-masing sebagai laku hidup. Sesungguhnya menebeng nilai universal yang bersifat abadi saja seperti bersikap jujur, adil, berbelas kasih, tulus, tidak tamak publik akan tahu siapa dia dan hal-hal yang melekat dalam dirinya termasuk agamanya. Orang akan menjadikannya panutan.

Biarkan orang tersentuh tanpa maksud kita menyentuh kalau kita masih percaya bahwa Tuhan adalah Tuhan. Karena agama hanyalah jalan yang dibuat manusia untuk menemukan tuhannya.

Tentang bel itu kembali. Pada waktu itu padahal aku katakan juga bahwa setelah pintu dibuka dan orang masuk ke dalam rumah ada salib Yesus tergantung di depan. Aku tidak memberi komentar pada kawan yang mendoakanku menjadi Hajjah karena ia tentu tidak tahu proses pengolahan iman yang terjadi dalam diriku.

Tentang agama yang aku anut perlukah diproklamirkan di sini padahal aku tidak ditanya? Jikalau aku nyatakan juga sebenarnya aku telah membangun batas. Batas agama adalah agama lain (red: Prof. Faruk Tripoli, Dosen Sastra UGM). Hal ini tidak sesuai dengan perjuangan cita-cita yang ingin aku bagi. Menjadi penulis yang memberi perimbangan kepada pihak-pihak yang berlawanan adalah panggilanku.

Keyakinan harus karena sebuah pilihan bebas. Bukan karena menikah, bukan karena warisan, atau karena ini dan itu. Kalau boleh aku katakan proses imanku karena Dialah yang memanggilku apakah menurutmu aku sedang bersabda? Aku bukan Tukang Sabda.

Selamat menunaikan ibadah puasa 1436 H. Ramadhan membuka mata ketiga.

Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.