Blogs

KEHANCURAN BUKANLAH SIFAT MANUSIA {THE DISINTEGRATION ISN'T THE NATURE OF HUMAN LIFE}

Giharu Si Perempuan Gunung

Diversitas4: Pemurah

FacebookTwitterLinkedInShare
 

Seperti udara panas dan dingin menjadi tradisi dalam sebuah musim begitulah keindahan bunga menjadi panorama umum dalam sebuah hati. Kekerasan yang terjadi di atas muka bumi telah menjadi sebuah kewajaran atas nama solusi karena harum bunga tidak lagi menumbuhkan kemurahan hati atas nama jiwa.

Kekerasan yang dilakukan atas tujuan baik adalah lambang ketidakberdayaan manusia menghadapi berbagai persoalan yang ada di muka bumi. Cara-cara yang lebih elegan sudah tidak diminati, walau demi sebuah tujuan baik, kekerasan tetaplah sebuah kekerasan! Kekerasan dengan tujuan jahat lagi dan lagi adalah setan yang berpesta-pora dalam diri manusia, kalau bukan kekerasan maka adalah kekerasan!

Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan perlawanan yang lebih keras lagi karena orang-orang yang kesetanan akan menyerang jaringan psikologis orang-orang yang bertujuan baik.

Aku memahami, sangat sering tidak mampu mengaplikasikan kelembutan diatas kekerasan ketika berhadapan dengan fakta yang menyakitkan bahwa ada kelompok manusia yang telah rusak jiwanya dan benar-benar tidak bisa diperbaiki lagi sementara penyelenggaraan suatu kehidupan sesegera mungkin harus berjalan normal. Pendekatan senjata yang dipakai untuk memerangi pihak lain adalah pilihan sulit untuk kemurahan hati dan pilihan pahit untuk ketahanan stabilitas.

Tulisan ini ingin mengajak kita semua berpikir ulang demi kepentingan kita bersama, terlebih para pemimpin dunia yang katanya ingin dunia damai. Setelah sekian lama membalas kekerasan dengan kekerasan, apakah dunia lebih damai? Tingkat tinggi yang bertikai akar rumput yang selalu menanggung akibatnya. Inilah yang aku maksud mereka akan menyerang secara psikologis. Mereka akan memakai warga sipil sebagai propaganda.

Kalau kita meyakini tidak ada yang bersifat tunggal, bahwa ISIS, Boko Haram, Abu Sayyaf, Al-Qaede, Kelompok Santoso dan mungkin masih banyak sel-sel yang belum muncul di permukaan adalah akar masalah beberapa dekade lalu yang tidak pernah selesai dan kini waktunya mereka unjuk gigi. Mengetahui kekerasan dibalas kekerasan, kita jadi ingat pestisida yang selalu disemprot petani. Apakah hama berkurang? Pestisida telah memunculkan mutan—kekerasan telah melahirkan kekerasan baru.

Sebengis-bengisnya atau sejahat-jahatnya mereka dan sebenci-bencinya kita, walau aku juga sering menganggap “perilaku” mereka seperti binatang tetapi mereka tetaplah manusia. Kalau kita mempercayai penyusun jiwa manusia adalah kebaikan maka pada suatu waktu, selalu tersedia baginya kesempatan untuk terkoneksi dengan suatu ruang hatinya yang paling suci walau hanya sedetik. Walau hanya sedetik, tetapi sedetik bisa mengubah cara pandang seluruh dirinya dan dunianya. Apakah kalian percaya kemungkinan itu selalu ada?

Dunia yang semakin terkoneksi semakin membutuhkan stabilitas. Manusia-manusia yang dikategorikan rusak jiwanya akan mengganggu stabilitas. Selain penjara, kematian adalah untuk mereka. Itu juga yang aku pikirkan dan aku rasa kita semua yang sudah sangat marah akan sangat mengharapkan sekali kematian mereka. Kematian adalah cara paling ampuh dan cepat untuk mengurangi beban dunia namun dari semua itu, ketahuilah kematian yang dihasilkan dari balas-membalas kekerasan adalah klimaks keputusasaan manusia.

Misteri penciptaan manusia menjadi kehilangan arti ketika masalah terselesaikan dengan hanya sebuah kematian.

Dengan kebutuhan stabilitas yang tidak bisa ditunda-tunda, dengan pendekatan militer namun dunia makin runyam sementara benih-benih kebencian tersemai tiada henti dan mungkin 10-20 tahun lagi, generasi anak-anak kita yang akan menanggung akibat yang bisa saja lebih besar dari sekarang atas kekeliruan yang kita lakukan hari ini. Jadi pertanyaannya: “Kita sebenarnya sedang menyelesaikan apa dan sesungguhnya boleh dikatakan masalah itu tidak pernah selesai?” Seperti tidak ada cara yang lebih ‘keren’ yang bisa dilakukan pada era teknologi ini?

Aku mungkin kalau ditanya juga belum mampu memberikan sumbangsih pemikiran yang afdal untuk isu pelik ini. Kapasitasku bagaimana mungkin bisa menjangkaunya? Perhatianku yang sangat besar dalam persoalan perdamaian dunia apakah ada artinya? Aku hanya satu dari suatu gelombang besar dunia yang menginginkan dunia lebih aman dan damai.

Lebih tepatnya, pandanglah aku sebagai ibu. Tulisan ini hadir dan aku buat 4 seri karena hatiku sangat sedih ketika menemukan sebuah foto anak Syria dengan mata redup, ditopang tongkat dan harus menatap masa depan dengan sebelah kakinya. Kaki kirinya hancur sampai lutut. Aku sudah tidak tahan lagi melihat penderitaan mereka.

Kebencian jelas tidak boleh ditabur karena hanya akan menjadi sumber masalah baru. Ini bukan masalah Islam atau Kristen. Ini tidak terkait agama sama sekali! Ini masalah semua umat manusia. Jadi, mohon hentikan semua pernyataan yang tidak membangun! Kalau belum bisa menjadi sumber solusi, jangan jadi sumber masalah!

Sudah begitu banyak usaha dilakukan dunia, hiburan atau kunjungan ke pusat rehabilitasi, donor, kecaman, berbagai tulisan dan bahkan sudah begitu banyak foto yang begitu menusuk hati nurani diunggah di media-media. Semua orang berteriak #HENTIKAN!!!! Pada satu sisi kita kadang begitu putus asa, begitu sedih tetapi tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa.

Menurutku, kekuatan sponsor dan mediator menjadi kunci penyelesaian atas semua konflik. Pihak sponsor dan mediator perlu hati yang luhur, diplomasi yang lebih memanusiakan manusia, mampu membuka wawasan, tidak punya kepentingan sama sekali dan terakhir bisa dipercaya kedua belah pihak karena bersikap netral. Tidak mudah menjadi pihak yang netral. Semua orang membawa alamnya.

Lalu, mengapa PBB tidak mencoba melibatkan negara ketiga yang mana tidak mempunyai kekuatan senjata, misalnya Indonesia, karena senjata sponsor dan moderator atau afiliasinya bisa mempropaganda perundingan.

Indonesia, negaraku terkenal dengan diplomasi yang halus dan aku sangat-sangat yakin, Indonesia mampu bersikap netral. Mendudukkan masalah pada porsi yang sebenarnya butuh kesabaran mendengar kedua sisi. Budaya kami tidak mengenal kekerasan, mudah memaklumi, kaya dengan cara-cara lokal yang sangat humanis. Bangsa kami sudah sangat teruji dan melewati begitu banyak titik perpecahan dan perbedaan namun Bhineka Tunggal Ika selalu dijunjung tinggi.

Kita perlu ingat, bahwa apa yang dilakukan dunia saat ini dengan berbagai kemajuan, pemikiran, gebrakan pengurangan emisi dibawah 2°C, 17 tujuan pembangunan berkelanjutan serta pembangunan diberbagai sektor yang dilakukan negara manapun, semuanya tentu untuk menopang kehidupan keberlanjutan. Sebuah pemikiran jangka panjang di dalam pendekatan senjata sementara pendekatan senjata hanya memenuhi tujuan jangka pendek! Bisakah ditemukan tidak ada sinkronisasi di sana? Kekerasan adalah antitesis sebuah tujuan!

Katakanlah terpaksa tetap harus memakai senjata maka usaha jangka pendek ini harus sangat diimbangi puluhan kali lipat usaha jangka panjang, kalau tidak dunia tidak akan pernah damai! Aku termasuk orang yang optimis bahwa persoalan bisa diatasi kalau tanpa senjata. Optimisku itu mempunyai dasar yang jelas bahwa senjata hanya akan membuat dunia makin kacau! Senjata hanya mendidik manusia dibunuh atau membunuh. Sesimpel itu dan tidak mengandung pengajaran selain dendam di sana.

Kalau semakin tidak mempunyai solusi untuk jangka panjang sebagai subsitusi ekses jangka pendek maka penyelesaian dengan cara militer ‘kekerasan’ lama-lama akan menjadikan orang baik dan jahat tidak ada bedanya.

Mengapa kita lupa strategi vaksin, bukankah vaksin berasal dari virus yang dilemahkan? Para hacker dirangkul seperti yang dikatakan Sheryl Sandberg, CEO FB, “Saatnya hacker diajak membobol dengan hati.” Kita tidak boleh lelah mengembangkan dialog, diplomasi tingkat rendah, pendekatan dari hati ke hati, cara-cara humanis yang berbalikan dengan kekerasan. Dan bahkan sangat mungkin memakai cara-cara seorang komedian untuk menyelesaikan masalah.

Ya! Apa yang paling diperlukan dunia pada masa mendatang bukanlah kemajuan tetapi stabilitas. Kemajuan tanpa stabilitas tidak akan berguna. Apa yang dibangun setahun akan hancur dalam semalam mengutip yang dikatakan Ibu Teresa dari Calcutta. Stabilitas tidak bisa berlangsung tanpa hati yang pemurah. Kemurahan hati adalah ejawantah dari diri yang penuh belas kasih. Hati yang penuh belas kasih memperjuangkan cara-cara yang elegan.

Hati yang penuh welas asih akan mengajakmu melihat sebuah perspektif tujuan penyelenggaraan kehidupan oleh semesta yang sangat jauh sekali. Mengapa manusia diciptakan berbeda-beda dan dalam perbedaan harus membangun harmoni. Mengapa hakikat manusia adalah gembira walau ada duka. Salah satu penemuan penting di sana adalah sumber penyelesaian dari sponsor dan mediator mesti jernih dan pihak yang merasa lebih waras harus memberi cahaya. Ini kedengarannya gila namun lebih gila lagi kalau dunia tidak segera damai. Energi dunia habis terkuras untuk menghadapi hal yang berulang-ulang dan tidak selesai seperti kasus ini. Sangat besar untuk bisa dijelaskan. Kita semua sudah lelah!

Kemurahan hati yang tidak dibarengi belas kasih akan menyempitkan suatu makna kehidupan dalam penghayatan kekayaan diversitas dunia sebagai rahmat. Kau hanya akan bermurah hati kepada orang yang memihakmu atau menguntungkanmu saja karena sumber belas kasihmu tidak jernih.

Dunia akan terus dipenuhi yang baik dan buruk sampai kapanpun dan dalam konteks manusia adalah biji kebajikan semesta maka kita perlu mengembangkan pemikiran bahwa manusia tidak bisa lagi dibedakan hasil perbuatan atau pemikiran jahat dan baik-nya, tetapi manusia dipisahkan oleh alasannya. Dari alasan tersebut, kita bisa menggali yang paling sensitif dari seorang manusia. Saatnya kita sentuh hatinya, jangan sebut lagi mereka teroris agar mereka juga mulai percaya bahwa mereka bukan teroris, sehingga pemikiran baru dimulai. In langkah kecil tetapi penting untuk jangka panjang.

Saraf penciuman bisa saja tidak berfungsi mengindentifikasi rasa seperti nasib bunga yang tidak pernah dikenal dari harumnya. Tanpa nama dan tanda jasa adalah jiwa-jiwa yang telah berkorban untuk “dunia lebih baik”, adalah mereka yang memungut ketidakmengertian di antara ketidaktahuan. Apakah sebuah hati masih terletak di rongga dada yang sebelah kiri?

Menjadi korban atas ketidakmengertian sangatlah keterlaluan untuk sebuah masa depan yang masih berisi harapan.

Lihat foto anak di atas. Tatap matanya dalam-dalam dan temukan dukanya. Dimana belas kasihmu sehingga sebuah kekosongan bisa ditemukan pada jiwanya yang masih begitu pucuk. Dan mengapa harapan mesti dibangun di atas puing-puing?

Kalian yang bertikai, siapapun, bersatulah dan bicarakan baik-baik. Tidak ada masalah yang tidak selesai kalau dibicarakan dengan hati terbuka. Bukan saatnya saling menyalahkan. HENTIKAN PERMUSUHAN! HENTIKAN KENGERIAN! HENTIKAN SENJATA! OH TUHAN HENTIKAN DARAH YANG MEMBANJIRI BUMI! CUKUP BENAR-BENAR CUKUP! JANGAN LAGI!

Siapapun korban dan sesungguhnya pihak manapun, kalau kita mau jujur di sudut hati kecil ini, kita tidak mengharapkannya, kita sangat sedih karena kehancuran bukankah hakikat kehidupan manusia.

Ini adalah tulisan keempat seri diversitas (selesai). Baca juga seri pertama Diversitas: Polos, seri kedua Diversitas: SARA, dan seri ketiga Diversitas: Kapok.

 

PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN

Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.