Giharu

GIHARU SI PEREMPUAN GUNUNG ADALAH PENULIS YANG MENDEDIKASIKAN HIDUPNYA UNTUK PELAYANAN NILAI ABADI DENGAN CARA SE-APA ADANYA.

FacebookTwitterLinkedInShare
 

Giharu Oh Giharu

button_1 “Giharu oh Giharu, dialah sang pengabdi kehidupan. Elemen sederhana sekaligus komponen rumit ada pada dirinya. Ketika kau sulit menerjemahkan Giharu, pandanglah Gunung Sindoro, ia begitu lembut namun menyimpan kekuatan besar di dalam inti hatinya, dari itu semua, ia hanya mau ide dan cita-citanya yang menggeliat di atas kawah dalam balutan mega yang bisa kau tangkap.”

 
Giharu adalah seorang penulis sekaligus seorang ketua gerakan philanthropi yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani nilai-nilai universal secara total dengan cara-cara biasa dan sederhana. Menulis adalah lentera jiwanya and bukan semata profesi. Menurut pemikiran Giharu, tulisannya adalah desakan panggilan jiwa yang telah diterangi lentera.

Menulis adalah jiwanya yang digores pada setiap papan proses. Buku menjadi cara untuk berbicara tentang kehidupan sederhana.

Novel perdananya, Trilogi Hidup Sederhana adalah novel yang berisi bulir-bulir ajaran hidup sederhana, mutiara kehidupan ada di sana namun perlu usaha mendapatkannya, dari kelembutan alam mereka ditulis, dari kekuatan hati mereka diperjuangkan karena hanya demi sebuah disposisi hidup yang indah.

Dengan seorang anaknya Giharu menetap di Temanggung, sebuah kabupaten kecil berhawa sejuk yang mempunyai pemandangan alam begitu memesona karena terletak di kaki gunung perempuan dan laki-laki; Sindoro Sumbing. Pesona Sindoro Sumbing telah begitu menyihir dirinya sampai terkunci mulutnya. Hanya duduk diam dan merasakan diri yang begitu kecil adalah cara yang paling arif untuk merasakan kebesaran mereka.


Giharu Si Perempuan Gunung


Dua puluh enam tahun sebagai bagian kaum urban Jakarta; mempunyai laku aktif sebagai wanita bisnis, membangun karir dan mengukir langit dengan mengisap soda sambil mendengar musik, namun daya dan gaya pengejaran kota telah memberinya sebuah horizon yang jernih dalam hidup. Hanya butuh satu pemicu untuk meletakkan kaki di bumi, ada impian di pucuk daun, ada penantian di putik bunga, saatnya cukup adalah cukup. Saatnya memeluk satu penemuan baru demi penemuan lain untuk memasuki keindahan hidup.
 

Impian di Putik Bunga
Impian keluarga bebek yang terjerambab dalam lumpur ladang bisa saja hanya fantasi namun tidak untuk sebuah pengalaman yang mengajari suatu ketaatan hidup pada kearifan alam. Menanti musim tanam berikutnya, membiarkan alam menyelesaikan masalahnya, lalu melihat bunga cikal buah bermekaran kembali, memanen brokoli dan jagung; tidak dalam waktu yang lama kalau membicarakan sesuatu yang dikerjakan dengan cita-cita luhur, spektrum cita-cita berbicara dalam segala dimensi. Selalu ada impian di putik bunga.

 
Wanita Bercaping
Hal yang penting menjadi tak penting lagi kalau penemuan telah dipeluk. Membandingkan Giharu dulu dan sekarang tidak bisa lagi dalam dimensi fisik, ide itu ada di pokok pikiran. Modernitas sudah mendeklarasikan diri akan memakai caping, di kemiringan lahan, di tengah ladang, kepala Giharu akan tersembul melambai di antara kubis dan kembang kol. Namun janganlah sedih cita-cita, bila lain waktu ia turun dari gunungnya, berbicara kepada peradaban tentang cita-cita sederhana, ia bisa saja memakai gaun air dan sepatu hak tinggi kesayangannya dan gaya jalannya pun masih seperti peragawati; sesungguhnya cita-cita itu tidak bicara hal terbatas, tentang kostum, penampilan dan bagaimana cara duduk dan makan hanyalah sampingan dari cita-cita.

 
Tidak Ada Yang Luar Biasa
Giharu tertarik memakai cara-cara biasa dan tertantang untuk melakukan apa pun dengan se-apa adanya dirinya, ini rahasia antarkita ya, suitt..bahkan ia sering tidak sempat mandi pergi ke Jakarta bertemu para kontributor buku. Giharu menyakini spektrum bukunya akan berbicara luas sekali karena apa yang ia ajarkan dalam buku bukan memandang ke langit tetapi melihat ke tanah mencari sebutir batu kehidupan.

Pandanglah Sindoro Sumbing
Membicarakan Giharu harus dikaitkan dengan Sindoro Sumbing, mencari foto-fotonya hanya menuai kesia-siaan, cukuplah kenal dirinya dengan memandang Sindoro Sumbing, karena di atas kawahnya cita-citanya terus dimasak, dimurnikan dan di lerengnya ada jejak kaki perjuangannya. Hanya akan sia-sia menemukan sebentuk fisik yang sangat terbatas di tengah keabadian, Giharu ada karena Sindoro Sumbing.

 
Banyak Cinta
Sejak buku The Simple Life Trilogy selesai, Sindoro Sumbing menjadi poros kehidupan Giharu, seperti yang ia tulis. Satu babak yang lebih mendebarkan menantinya di sana untuk minta diwujudkan. Dengan sampurnya yang melambai-lambai kelak akan memanggil setiap pengembara yang lewat yang haus untuk datang ngombe. Datanglah duhai sahabat kehidupan, banyak cinta untukmu di Sindoro Sumbing.

 
Batu Telah Ditemukan
Impian sebuah “kotak abadi” yang dicita-citakan Giharu sudah dipastikan tidak lama lagi akan berdiri, di tanah yang ada sebuah batunya, di depan batu itu akan dibangun gapura Sri dan Sadono, tangan Sri dan Sadono secara mistik bertemu membentuk lengkungan gapura, kemudian dari sana keluarlah Loro Blonyo menggenapinya; lambang persatuan lelaki-perempuan—dua sisi berlawanan yang Giharu ingin hadir di sana. Apa yang ia katakan ini semua karena batu itu telah ditemukan.