Blogs

HUJATAN BERPELUANG MENJADI BERKAH KETIKA REKONSILIASI TERJADI (HATE SPEECH HAS POTENCY BECOMING BLESSINGS WHEN RECONCILIATION DONE}

Stock Vector Heart Doodles 519209203 1 E1505282481665

Anies-Sandi Tobat1

FacebookTwitterLinkedInShare
 

Anies-Sandi siap-siap ya. Para indigo dan pihak yang mempunyai kemampuan khusus telah menangkap “kegelisahan luar biasa” dalam diri orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan.

Beberapa waktu lalu, setelah sebulan kami tinggal di Yogyakarta, aku diundang oleh sebuah kelompok kebatinan. Seorang anggotanya yang juga mengundangku memberitahu bahwa pasangan calon pemenang pilkada DKI memberikan setrum kepada kelompok kebatinan. Bentuk energi yang tertangkap adalah suatu situasi tidak tenang. Kegelisahan apa tanyaku ingin menyamakan apa yang telah kulihat beberapa waktu lalu. Nasibnya akan ditentukan Oktober ini katanya. Jangan-jangan…(red: tanpa aku teruskan kalimat selanjutnya kurasa kalian sudah bisa menebak…heee).

Sebelum aku menceritakan apa yang membuat pasangan pemenang Pilkada DKI’17 gelisah, aku ingin mengulas tentang penjahat.

Dari semua yang aku baca tentang penjahat yang menyerahkan diri, rata-rata mengungkap tidak tahan hidup dalam ketakutan karena selalu dikejar-kejar rasa bersalah. Mereka juga mengaku lebih sering berkeringat dingin, lebih sensitif dan mulai sering mendengar ‘suara-suara aneh’. Beberapa dilaporkan memicu permasalahan pada kinerja organ jantung mereka. Kalau penjahatnya adalah orang Tengger maka rasa bersalah akan membuatnya mati karena tergelincir ke jurang.

Suara-suara aneh dalam ilmu metafisika adalah pengembalian energi atas energi yang keluar dari diri atau yang kita berikan ke alam. Kalau energi positif yang keluar maka energi positiflah yang kembali sebaliknya energi negatif ditabur energi negatif dituai. Aku meyakini hubungan timbal balik tidak bersifat lurus khususnya untuk energi negatif yang diberikan akan mendapat pengembalian energi negatif yang lebih besar karena diri dan tubuh tidak siap. Di dalam diri dan kepentingan tubuh terjadi pertentangan konflik. Hal ini seperti ilmu matematika faktor negatif (milik diri dan tubuh) ditambah faktor negatif (dari luar) maka hasilnya akan semakin negatif.

Tentang tulisan ini, aku sengaja mengangkatnya untuk menganalisa seberapa kuat jantung Anies-Sandi menahan cacian dan makian yang akan terus bergulir.

Seratus juta hujatan
Hasil penelitian aku buat dari sejak cara keji marak dimainkan mereka dalam pilkada DKI 2017 hingga dinamika terkini. Terkait hujatan, aku kalkulasi mereka telah menerima lebih dari 100 juta hujatan. Diasumsikan satu media memberitakan mereka 5 artikel saja sehari dikali 5.000 hujatan per artikel dikali 300 hari (Nov’16-Sep’17) dikali ratusan media komunikasi dikali jutaan share dan reshare. Hasil penelitian aku lakukan berdasarkan “Penerimaan hujatan oleh mereka dihubungkan seberapa jauh hati nurani mereka tergedor“. Hati nurani yang bermasalah akan memicu stres, stres yang berkepanjangan akan mempengaruhi kerja jantung.

Penelitian dibagi 5 fase, yaitu sebagai berikut:

  • Fase-1A, terjadi pada masa kampanye awal-hingga ronde ke-1 dimana hujatan diterima dengan kondisi hati nurani masih bisa mempertimbangkan baik buruk karena baru memulai dan sedang coba-coba. Tetapi hati nurani semakin lama semakin megap-megap seperti ikan menggelepar minta tolong di gurun pasir.
  • Fase-2A, hujatan diterima menjelang kampanye ronde-2 sampai pencoblosan, pada fase ini hati nurani telah mati untuk sementara waktu. Fase-2A adalah puncak bebalnya hati karena sebuah perjuangan harus menang ditambah elemen ‘kebelet’ (maaf) mau menang dan atau telah melihat kemenangan dengan cara sara.

    Hujatan yang diterima pada fase ini akan mendapat perlawanan dalam diri dan pikiran mereka untuk teori pembenaran yang terbentuk secara alamiah dan tidak alamiah. Sebagian besar teori pembenaran sudah pasti harus dipaksakan. Semakin dipaksa semakin tampak logis karena bingkai terus dibentuk. Orang seperti ini butuh kesadarannya setengah tertutup agar bisa fokus pada tujuan inti. Hal ini akan membuat kita mudah mengerti mengapa penjahat sebelum melakukan aksinya minum tuak terlebih dahulu agar separuh kesadarannya hilang sehingga nyalinya mengumpul pada rencananya dan tidak terusik oleh hati nurani. Istilah yang beredar saat itu ‘harus menang walau dengan sara’. Demo berjilid-jilid yang mereka lakukan adalah bentuk-bentuk usaha pembenaran dalam nalar dimana agama menjadi kendaraan.

  • Fase-3A, setelah kemenangan diumumkan hingga Oktober rencana pelantikan dimana hujatan telah diterima sebagai hujatan! Mengapa? Karena hati nurani mulai bergetar kembali! Faktor pendukung hati nurani bisa bekerja kembali karena tujuan awal telah tercapai sementara dinamika hujatan belum reda, energi negatif mulai dituai dan kegelisahan terus mengisi rongga dada. Usaha melawan hati nurani atas cara yang dipilih tidak ada lagi. Teori pembenaran sudah tidak efektif.

    Satu per satu pendukung yang masuk bui harus dianulir dukungannya akan memanen beban tambahan di bahu mereka. Secara diam-diam sangat mungkin mereka ditelepon relawan dan dicaci, “Kok kamu getu habis manis sepah dibuang seh?” Dukungan khususnya dari relawan (bukan politikus atau partai) yang berbalik menjadi antipati memberikan beban berat sekali. Contohnya kalau seorang emak dipenjara gara-gara terlalu overdosis mempromosikan mereka karena doktrin harus menang tadi atau karena iming-iming materi maka ketika congornya mengungkapkan kekesalan gara-gara tidak dibela maka yang dirasakan adalah hujatan dari sekampung.

  • Fase-4A, hujatan diterima setelah dilantik sampai 100 hari maka penerimaan hujatan akan diterima seperti Fase-1A dan Fase-2A tetapi titik baliknya 100 hari kerja. Kalau 100 hari kerja belum bisa menunjukkan kinerja melebihi Basuki-Djarot maka penerimaan hujatan akan masuk seperti siklus Fase-3A: hujatan akan diterima kembali sebagai hujatan namun dengan gelombang yang lebih besar. Mereka akan mulai merasakan ternyata kemenangan ini biasa saja tetapi mengapa berkorban terlalu banyak?
  • Fase 5A, setelah 100 hari berkuasa, karena beban kerja, harapan masyarakat yang telah memiliki pembanding, tren hujatan yang akan terus meningkat maka hujatan dirasa seperti pisau mengiris tangan. Rasa malu mulai timbul karena sekarang taruhannya bukti atas janji.

    Kalau mereka melewati 100 hari tanpa gejolak dan terus berkuasa maka seberapa jauh hati nurani mereka bergetar atas hujatan? Agar mudah kita analogikan saja berapa banyak bawang putih yang mereka konsumsi—terpaksa muka badak akan mereka pasang sampai 5 tahun kedepan tetapi daya tahan jantung mereka tergantung ‘bawang putih’. Mohon sediakan lebih banyak obat pengencer darah. Kuharap ini sebuah sindiran yang cukup menohok mereka.

  • Nah, bagaimana penerimaan hujatan apabila tidak jadi dilantik? Ini yang menarik dibahas sebenarnya. Aku kelompokkan dua model, yaitu:

  • Model A, kalau tidak jadi dilantik karena mengundurkan diri serta meminta maaf kepada masyarakat, tren hujatan akan menurun drastis. Hujatan berubah menjadi simpati. Ini adalah rekonsiliasi paling mudah diterima masyarakat. Semakin tulus semakin ideal. Mereka akan diganjar hidup tenang. Kegelisahan akan berakhir. Hujatan akan menjadi bagian sejarah, mereka telah bisa menerima hujatan sebagai hujatan dalam perspektif pencerahan. Pada titik ini mungkin mereka akan mengalami penemuan diri sejati dan kemudian bisa berpotensi mentransformasi menjadi pemimpin hebat. Kukira mereka punya peluang menjadi presiden berikutnya.
  • Model B, kalau gagal dilantik karena tersandung kasus hukum maka tren hujatan akan tetap stabil cenderung naik sampai tidak ada batas waktu. Penerimaan mereka terhadap hujatan dalam tahap ini akan berkebalikan dari Model A. Hujatan tidak bisa diubah jadi berkah bagi mereka. Hujatan akan menjadi dendam yang pada akhirnya akan merusak hidup mereka sendiri. Politik akan tetap politik tanpa peduli dengan mereka.

    Kalau mereka melakukan upaya perlawanan maka energi negatif yang mereka terima semakin menumpuk-numpuk karena kolektivitas energi negatif akan meningkat seiring meningkatnya pengetahuan masyarakat. Secara sadar dan tak sadar akan mempersalahkan mereka atas hasil kerja yang diprediksi sulit menyamai Basuki-Djarot apalagi melebihi. Masyarakat sederhana masih mempercayai hukum “segala sesuatu yang baik dimulai dari awal”. Akan terus diungkit tentang cacat moral, kode etik pelanggaran konsensus bersama tentang cara-cara adab dalam bersaing, kemudian dorongan dari kelompok Islam moderat yang gerah dengan ekses-ekses cara sara mereka. Pendukung yang mulai membangkang karena fulus tidak selancar dahulu dan kecewa karena merasa dilepeh, perpolitikan yang dinamis serta dorongan dan contoh kepemimpinan internasional tentang moral, teladan dan bahayanya mempermainkan isu sara. Hal ini semua akan menjadi beban mental mereka.

  • Tidak dilantik, terjerat hukum dan masih mau menanggung energi negatif adalah kebodohan dua kali yang mereka lakukan dalam kekuasaan yang hanya mempunyai limit 5 tahun. Seumur hidup mereka pertaruhkan.

    Kesimpulan
    Mau dilantik atau tidak dilantik. Pokoknya dalam setiap artikel terkait mereka telah memanen minimal 5.000 komentar hujatan. Lima ribu hujatan akan melipat 100 kali dalam bentuk energi negatif sampai tidak terhingga karena emosi seperti marah, kesal, rasa malu serta usaha-usaha untuk menahannya di satu sisi sementara sisi lain memakai banyak topeng akan bercampur baur dalam energi negatif.

    Mereka akan kelelahan karena energi negatif yang diterima terus menggunung. Mereka akan menerima 100 kali 100 juta energi negatif. Berapa lama sih mereka kuat? Umur sudah hampir kepala 5? Mereka belum pernah membunuh manusia tetapi telah membunuh nilai-nilai hidup berdampingan. Mereka tidak akan mampu menghadapi energi negatif yang sangat luar biasa besar ini karena aku pikir mereka sebenarnya orang yang ingin berusaha menjadi orang baik tetapi terlanjur terjerumus dalam gerombolan politikus rusak.

    Mereka mungkin bisa berdalih tidak pernah membaca hujatan tetapi tahukah mereka bahwa energi itu mengalir tanpa perlu dibaca? Energi bisa mengalir seringan angin.

    Dapat kukatakan bahwa mereka tidak ada pilihan. Mengundurkan diri akan menghentikan kegelisahan! Ini adalah cara rekonsiliasi yang paling terhormat dan satu-satunya sisa jalan yang akan memenangkan Indonesia.

    Tentang kegelisahan dan hubungan pelantikan pada Oktober ini yang dirasakan oleh orang-orang kebatinan juga aku rasakan beberapa bulan lalu, hal ini kemudian telah beredar luas di grup-grup dan kini sudah menjadi konsumsi publik dalam bentuk yang lebih mempunyai dasar teori dan fakta dan bukan klenik setelah tertangkapnya Saracen, Asma Dewi dan tersangkutnya pengacara si ulama besar dalam Saracen.

    Jadi tentang apa yang mereka gelisahkan sangatlah wajar karena mereka masih manusia? Mereka punya kelemahan korelasi dengan Saracen yang sulit dipatahkan dan benang merahnya akan ditemukan. Belum lagi kasus hukum yang sedang mereka hadapi. Wuih banyak sekali bebannya.

    Apa yang dirasakan oleh para indigo dan orang-orang pintar bukan sesuatu yang istimewa kukira karena kegelisahan adalah hal yang sangat normal dalam proses orang menjadi manusia. Tanda-tanda telah diperlihatkan oleh penguasa kebenaran. Sedikit demi sedikit tetapi pasti! Kegelisahan akan semakin membuat jantung berdebar-debar.

    Mau dikenang sebagai Gubernur sara tetapi hidup dalam kegelisahan sampai mati atau mengundurkan diri dan memilih mengambil peluang yang lebih besar? Seperti kata Ebiet G. Ade, “Mumpung Masih Ada Waktu”.

    Oh, jadi kegelisahan mereka pertama dan utama adalah Oktober ini jadi dilantik gak ya? Kedua jangan-jangan gue akan menyusul Ahok; tidak jadi dilantik malah masuk bui?

    Catatan: Jangan lekas marah kalau kalian atau pendukungnya mendapatkan tulisan ini, maksudku baik tidak ingin melihat Anda berdua sakit jantung dalam usia masih produktif. Layanilah bangsamu dengan kejujuran agar kejujuran juga kembali kepadamu!

     

    PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN

    Leave a Reply

    You must be logged in to post a comment.