Faktor Gairah Politik
Selain faktor kecurangan, apalagi yang akan menghantam Jokowi pada Pilpres 2019? Aku mencoba mendalami lebih teliti dan kutemukan hubungan yang erat antara gairah berpolitik pemilih dengan antusiasme menyalurkan hak suara-nya. Semakin ia tidak bisa merasakan kemeriahan pesta demokrasi semakin ia akan menjadi golput, dengan kata lain semakin ia tidak bisa merasakan harapan yang dimunculkan dari pesta demokrasi semakin ia tidak peduli dengan hak suaranya.
Beberapa waktu lalu aku baru mengontra pandangan seorang kawan yang mengatakan sudah tidak tahu lagi mana yang benar mana yang salah saat kami bahas tentang situasi negara terkini. Semua sama saja sebagai kalimat penutupnya. Dia seorang pendukung Jokowi dan akan tetap memilih Jokowi, tetapi apakah dirinya ada gairah untuk menggunakan hak pilihnya akan menjadi tanda tanya besar bagiku. Orang dengan pandangan seperti itu aku nilai akan lebih mementingkan bisnisnya daripada membela sebuah suara di bilik TPS.
Kita tidak bisa serta-merta menyalahkan sepihak kepada dirinya karena pandangan itu terbentuk juga ada kontribusi kebijakan yang menurutnya seharusnya tidak begitu. Pihak Jokowi bisa menegasikan itu semua dengan sebuah pernyataan, tetapi apakah itu bisa menghapus yang telah terbentuk di dalam benak masyarakat bahwa contoh halnya SP3 Rijik diyakini pasti ada soft power Jokowi. Kemudian pelantikan AH, ketua hakim MK yang sedang dipetisi masyarakat dan bahkan para intelektual juga sudah bersuara keras menolak serta manuver politik Jokowi merangkul pihak lawan dan menempatkannya di singgasana dinilai sangat berlebihan.
Kelompok seperti kawanku ni cukup banyak. Biasanya kelompok ini tidak begitu peduli dengan nasib bangsa karena mereka telah putus harapan, mereka lebih mementingkan kerja, sekolah dan bisnis. Penilaian mereka hitam-putih tanpa mendalami kasus per kasus. Kelompok ini terdiri dari pihak yang belum menentukan pilihan, pemilih pemula, orang yang merasa lebih baik netral, kelompok kritis dan kaum minoritas. Anehnya kalau disurvei mereka rata-rata memuji Jokowi dan kalau diminta mencoblos mereka seperti kehilangan gairah dalam pesta demokrasi.
Intinya kelompok ini cukup rentan golput dan ketergantungan gairah berpolitiknya pada kondisi makro bangsa cukup besar. Telah terjadi bias pembelajaran dalam masyarakat bahwa seorang pengacau derajatnya akan diangkat asal memakai baju agama akan diprioritaskan. Coba lihat Ngabalin dan TGB serta kelompok 212 dan PKS yang merapat ke PDIP begitu mudah mendapat prioritas. Baik pihak merah, pemerintah dan media telah memberi porsi yang sangat berlebihan. Berita TGB sedang diperiksa KPK benar-benar tenggelam. Mereka bak bintang yang sangat pantas dieluk-elukkan. Sehingga ada pembelajaran yang salah ditangkap masyarakat yang menimbulkan kelesuhan melihat masa depan bangsa. Jika tidak ada usaha perimbangan hal itu akan bisa melenyapkan seluruh semangat mencoblos.
Pada suatu titik, ungkapan seperti “semua sama saja” atau “kebenaran sudah tidak ada di negeri ini” sangatlah merugikan usaha-usaha konstruktif yang dilakukan pihak Jokowi maupun koalisi.
Pihak lawan sangat jeli memukul Jokowi. Mereka sebenarnya sangat percaya bahwa suara Jokowi itu sebenarnya 70-75% kalau semua mencoblos. Sebagian suara dikadalin dan sebagian digembosi jadi mayan selisih semakin dekat pikir pihak lawan. Gairah berpolitik yang lesu akibat propaganda lawan yang secara halus dimainkan melalui ‘pembisik-pembisik maut’ atau lewat manuver lain harus menjadi perhatian serius pihak Jokowi dan koalisi. Kita teliti, sejak 212 bertemu Jokowi, lalu Ngabalin masuk istana, tidak begitu lama SP3 Rizieq satu persatu bisa keluar dan entah bagaimana lagi tiba-tiba TGB yang sedang dipanggil KPK pun merapat ke Jokowi. Inilah yang aku maksud bisikan maut yang tidak mudah lagi disaring oleh Jokowi karena lawan sudah masuk ke sistem.
Gairah yang sudah lesuh ditambah sedikit saja kendala teknis (kecurangan atau urusan remeh-temeh) yang akan ia hadapi dalam menyalurkan haknya akan meluluhlantakkan segalanya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam sebagian hati masyarakat sudah ada kepercayaan bahwa negara ini masih butuh waktu yang panjang untuk bisa berubah, jadi untuk datang ke TPS perlu usaha ekstra terlebih untuk kelompok masyarakat yang aku sebutkan di atas. Bagi mereka coblos tidak coblos sama saja maka kalau begitu untuk apa mencoblos adalah pertanyaan yang sangat masuk akal bukan?
Dalam hal ini bapak Jokowi perlu sangat hati-hati, menjelang pilpres ini tidak perlulah mengeluarkan kebijakan sensitif terkait ‘kekuatan lunak’ merangkul musuh lagi, tidak membuat hal-hal yang bisa menimbulkan kegaduhan di pihak pendukung dan sebisa mungkin tidak berseberangan dengan isu yang sedang dipetisi oleh masyarakat karena hal ini dikhawatirkan akan menggerus potensi suaranya. Apa yang bisa ditahan lebih baik ditahan untuk masa-masa seperti sekarang ini.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.