Bawaan Orok
Soal agamaku, apakah ini terkait sifatku yang cenderung setia pada pilihan yang telah kuambil atau ini terkait imanku yang kuat kukira bukan itu yang ingin kubahas. Apa yang kurasakan adalah diriku selalu rindu dan haus untuk menemukan dimensi suci dan aku mendapatkan jalan lewat agamaku itu. Kukira pada suatu masa sebagai orang yang percaya ada kekuatan dibalik kehidupan ini atau sebut saja saja sebagai orang beragama akan mengalami “bukan aku lagi yang mencari-Nya” melainkan “Dia yang memanggilku“.
Sentuhan-sentuhan rohani itu telah berkontribusi pada pembentukan jiwa yang lebih matang pada diriku dan membantu menjaga sensivitas hati nurani dalam kondisi cukup hingga hari ini. Namun aku juga yakin, seumpama aku tidak beragama sekalipun akan tetap menjadi Giharu yang memperjuangkan hati nurani.
Di dalam agamaku ada begitu banyak sarana untuk memperkaya batin. Semua bantuan dan fasilitas itu sifatnya bisa dimanfaatkan umat untuk semakin dekat kepada yang Ilahi. Beberapa agama lain juga punya kekayaan demikian namun agama-agama yang dilandaskan pada teologis hitam-putih khususnya agama-agama yang mengejar pemurnian ajaran akan mengenyahkan campur tangan kreativitas, budaya atau filsafat dalam membangun iman. Bahkan itu dianggap musyrik.
Semakin kita dekat pada keilahian, kukira kita juga semakin mudah menangkap dimensi suci dari penyebut agama yang lain. Jadi tidak mengherankan kalau jiwa kita bisa menjadi tenang saat dengar lantunan doa-doa atau lagu-lagu rohani dari agama dan aliran kepercayaan lain. Kita tidak perlu mengerti bahasanya karena semua keindahan spiritualitas itu punya frekuensi surgawi yang sama dan jiwa kita mudah mengenalinya. Seperti yang diriku alami; aku bisa dengan mudah menikmati azan atau nyanyian orang Budha dari versi Tibetan sampai Budha Jepang, suatu aliran kepercayaan dari India atau pun dari suku Indian. Aku kadang sengaja mencari bentuk dunia spiritualitas lain dari berbagai kelompok di belahan dunia termasuk juga dari suku-suku purba di Afrika.
Justru yang membuatku heran adalah kok ada orang beragama bisa ngamuk dan membakar rumah ibadah gara-gara mendengar lantunan surgawi dari agama lain. Kukira inilah saatnya bagi kita merenungi kembali apakah benar-benar agama yang kita anut bisa mendidik seorang preman atau malah agama kita diakali si preman.
Manusia tidak akan kehilangan sensivitas jikalau masih memperhatikan apa yang dikatakan sensor. Sensivitas terletak pada kualitas sensor. Mempunyai sensivitas adalah mempunyai kemampuan merasakan atau mengukur suatu kejadian benar itu tidak benar, yang A baik yang B tak baik maka yang baik lakukan dan yang tak baik jangan dilakukan. Sensor adalah sesuatu yang membangun sistem sensivitas di dalam perangkat kendali dalam bentuk peringatan-peringatan.
Tidak ada termometer yang bisa mendeteksi suhu dengan tepat kalau sensivitas air raksa telah rusak. Alat kontrol yang canggih tidak ada gunanya kalau sensivitasnya telah lemah. Termometer mahal karena air raksa di dalamnya.
Kalau dibawa dalam konteks agama sebagai sarana pengendalian ‘alat kontrol’ dengan segala ajaran dan larangannya bagi manusia maka hati nurani adalah sistem sensornya. Agama yang dijalani dengan ketat belum tentu berbanding lurus dengan sensivitas hati nurani. Jadi kalau ajaran agamamu tidak membuatmu semakin menjadi manusia yang berbudi luhur mungkin saatnya Anda meninjau apakah ada yang tidak beres dengan ajaran agama atau diri Anda yang tidak beres sehingga salah mendefiniskan ajaran agama.
Dahulu manusia purba saling membunuh demi berebut sumber daya, setelah agama hadir kita kemudian mendapatkan orang-orang beragama membantai babi-babi dan anjing atas perintah agama dan sekarang pada abad modern ini yang paling mengerikan orang beragama meneriakkan nama tuhan sambil menggorok leher orang.
Termometer tanpa air raksa tidak akan berguna begitu juga agama tanpa hati nurani adalah kesia-siaan. Pada akhirnya manusia dan segala isi bumi ini belaka, demikian juga agama akan musnah namun Tuhan akan selalu abadi.
Agama tanpa sensivitas hati nurani akan mengembalikan sifat kebinatangan manusianya. Inilah paradoksal agama; agama diciptakan untuk mengurai masalah manusia dan membuat manusia lebih baik, tetapi justru sebaliknya agama menimbulkan masalah pada manusia; kukira inilah salah satu penyebab yang melahirkan gerakan agnostik?
Tolok ukur agama itu baik atau tidak ketika berjalan dalam kehidupan bersama. Semakin jamak masyarakatnya semakin suatu ajaran agama teruji, apakah itu bisa menjawab tantangan zaman? Karena apalah arti memberi garam pada lautan kalau agama dikaitkan dalam rangka menyelamatkan manusia dari kebobrokan. Oleh sebab itu kelompok-kelompok yang memperjuangkan pemurnian agama tidak akan pernah mampu hidup berdampingan dalam masyarakat yang pluralistik karena mereka telah kehilangan sensivitas hati nurani. Mereka itu adalah orang-orang picik yang merasa tersingkir dalam persaingan hidup dan kebetulan beragama. Mereka memahami agama sesuai dengan kondisi pikirannya; agama dalam hal ini mungkin benar tidak mampu membuat mereka semakin manusiawi.
Hati nurani menjadi basis pertahanan kemanusiaan kita setelah manusia beragama. Justru seharusnya manusia semakin keras dalam agamanya manusia semakin perlu memperkuat basis kemanusiaannya dengan terus menyalakan suara hati.
Paradoksal agama terletak pada konsekuensi hati nurani yang tidak pernah mati. Sebagai bukti kemanusiaan lahir duluan sebelum agama adalah hati nurani—hati nurani sebagai sumber ajaran tertua dari semua ajaran dalam peradaban kita bahkan yang paling murni. Hati nurani manusia berasal dari sumber-Nya langsung. Kitab suci selain berisi wahyu, perintah atau kisah-kisah tokoh, ajaran dan larangannya yang itu semua sering disebut lahirnya lewat jalan mistik Tuhan; dipastikan itu adalah ajaran-ajaran tentang hati nurani. Justru karena ada mistik Tuhan-lah maka hati nurani mengalami penjernihan di dalam kitab suci.
Dalam hal itu artinya hati nurani lebih penting dari perintah agama dan kalau ada perintah agama yang bertentangan dengan hati nurani kukira ajaran agama itu tidak benar atau pemahaman orang itu terhadap agamanya tidak benar.
Aku ingin menantang pemikiran Karl Max apakah benar kehadiran agama membawa masalah bagi manusia, namun melihat dunia yang semakin kacau apakah hal itu membenarkan pemikiran Karl Max bahwa agama tidak mampu menyelesaikan persoalan manusia. Dimana letak relevansi agama dalam pembangunan karakter manusia kalau pembangunan karakter manusia juga bisa dilakukan tanpa melalui agama? Karena kan memang ada orang tidak mengenal agama yang hidupnya sudah baik sejak awal.
Bagaimanapun mengikuti suatu agama adalah mengikuti tokoh yang disucikan dalam agama tersebut. Untuk bisa mengikuti jejak tokoh suci tersebut itu dibutuhkan kesetiaan; secara cepat, “kesetiaan” bisa jadi adalah apa yang dinamakan iman dalam agama-agama. Ketika agama mengatakan menjadi manusia baik saja tidak cukup kalau belum mengikuti jejak tokoh suci di dalam agama; bisakah kita persepsikan bahwa ini adalah cara agama membentuk umat dengan cara membangun keimanan; agama butuh umat kalau tidak agama akan punah.
Aku kok lebih mengarah bahwa orang-orang baik walaupun tanpa agama mereka akan tetap menjadi manusia baik kecuali butuh ‘tokoh suci’ untuk membimbing sisi rohani mereka agar semakin dekat kepada keilahian; artinya mereka butuh agama.
Intinya, agama tidak bisa dan bisa berkorelasi terhadap sensivitas hati nurani. Sensivitas hati yang tidak bekerja dengan baik seperti hati nurani terkena sirosis. Mengeras dan menjadi bebal. Sensivitas hati nurani akan melemah bahkan hilang sama sekali kalau ia sengaja dilanggar dan tidak dihiraukan secara terus-menerus, seperti air raksa yang rusak terpapar sinar matahari setiap hari.
Oleh sebab itu mungkin benar agama punya potensi mematikan sensivitas hati nurani seseorang?
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.