Islam Di Mataku
Kalau kukatakan begitu mungkin ada yang langsung nyinyir dan menghakimi kadar iman Ibu A kurang atau ilmu agamanya masih cetek. Bagi yang sewot setelah membaca tulisanku ini silakan saja, tetapi perlu mengarisbawahi bahwa persepsi Islam di mataku adalah agama yang ‘adem’ dan jangan kalian nodai!
Berdasarkan memori yang baik yang tetap tinggal dalam pikiranku tentang Ibu A dan terkait jilbab yang dipakai Ibu A, aku meyakini beliau memakai jilbab karena terpanggil. Zaman dulu orang memeluk agama lebih suci karena dunia tidak sekompleks sekarang dan tentu intervensi partai politik belum begitu nyata. Saat itu partai politik belum begitu ‘serem’ mempolitisasi agama, tidak seperti sekarang agama dijual dengan sangat murah sekali. Aku sangat percaya pada zaman itu orang beragama lebih luhur dan mengoneksikannya dengan gerakan hati nurani tanpa kehilangan kewarasan. Jadi pendapatku bahwa Ibu A berjilbab karena benar-benar hatinya terpanggil sangat bisa dipertanggungjawabkan.
Bila seseorang melakukan sesuatu karena panggilan maka kuyakin Ibu A mempersepsikan jilbab adalah kehormatan dan rasanya sangat relevan jika ia tidak menganjurkan apalagi memaksa murid-muridnya yang belum mengerti arti panggilan untuk memakai jilbab. Aku tidak akan masuk ke ranah yang aku tidak punya kapasitas, baik itu terkait akidah dan atau pertentangan tentang jilbab itu wajib atau tidak, aku meninjau dari pandangan umum dan belum masuk ke teori psikologis kerohanian, jadi kukira Ibu A mengerti betul anak-anak ingusan belum bisa paham menjaga sikap sebagai konsekuensi memakai jilbab.
Bila memakai penutup kepala adalah ‘suatu gerakan’ maka dimanakah letak panggilan yang dialami Ibu Ani? Aku juga meyakini tujuan Ibu A memakai jilbab bukan untuk menunjukkan atau memisahkan aku Muslim dan kau non Muslim maka yang Muslim adalah saudaraku dan lain bukan.
Sembilan tahun berikutnya, yaitu di SMA, akhirnya aku bertemu dengan dua kawan turunan Arab memakai jilbab. Hanya mereka berdua yang memakai jilbab dan salah satunya adalah sahabat karibku. Kami dekat selain faktor kecocokan, mungkin juga ada faktor karena kami selalu duduk satu meja selama 3 tahun. Sahabatku sering mengeluh kepadaku ia merasa terpaksa karena harus wajib pakai jilbab.
Zamanku dulu, kami begitu polos bersekolah, bermain dan kalau hari raya saling mengunjungi dan tidak sampai kepikiran sedikit pun bahwa kami ini berbeda. Aku punya banyak sekali kawan baik beragama Islam saat SMA. Aku ingat lagi seorang kawan yang bernama Revaldo yang sangat baik kepadaku. Aku sering ditraktir olehnya. Ia anak orang kaya dan kami cukup sering ke rumahnya belajar kelompok, sedikitpun aku tidak mendapat kesan sinis dari wajah ibu bapaknya saat menerima diriku non muslim dan Cina pulak.
Zaman dulu, persepsi tentang Islam lebih positif di mata non Muslim dan pada saat itu populasi Islam mencapai puncaknya. Ketika jiwa agresor yang ditampakkan yang maksudnya mungkin untuk menyelamatkan populasi Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya fobia Islam merebak dimana-mana. Hal ini semakin memperlemah citra Muslim.
Zaman dulu, pikiran kita tidak mudah terkonotasi ke hal yang kotor, tidak seperti sekarang kalau melihat orang berjilbab jadi ingat koruptor Atut atau ketemu ibu-ibu berjilbab jadi alergi karena ingat congor emak-emak berjilbab seperti iblis.
Mengapa orang-orang sekarang mengaku beragama, tetapi tingkah lakunya sangat biadab? Dimana adab? Bila manusia bisa mempertahankan kejernihan hatinya ia pasti dengan mudah menemukan cacat dalam prosesnya walau hanya sebutir pasir halus.
Dari atas gunung melihat wajah Indonesia hari ini sangat menyedihkan sekali, sejak kecil kepolosan berpikir anak-anak kita telah dicerabut dengan cara paksa hanya untuk sebuah perbedaan; yang berjilbab adalah saudara dan tidak berjilbab bukan. Kalau sejak kecil saja sudah ditanam aku Islam kamu kafir lalu bangsa ini mau dibawa kemana?
Baca juga: Kontroversi Jilbab.
Baca juga: Jilbab & Pekaes.
PENTING! SEMUA INFORMASI SITUS DILINDUNGI UU. LIHAT SYARAT & KETENTUAN PEMAKAIAN
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.